URGENSI DISPENSASI NIKAH PASCA REVISI UU PERKAWINAN
( Makalah )
(Penghulu KUA Kec. Sukadiri Kab. Tangerang)
A.
PENDAHULUAN
Pernikahan
adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Islam, tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan
keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, sebagaimana tertuang dalam Q.S Ar Rum
21: “Dan diantara ayat-ayat-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu merasa nyaman kepadanya dan dijadikan-Nya
diantaramu mawaddah dan rahmah. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kamu yang berpikir”.3)
Diantara tujuan lain dari pernikahan adalah menghindari
zina. Seorang laki-laki secara natural akan bangkit hasrat seksualnya seiring
dengan sampainya dia pada tahap baligh, baligh dalam fiqih bagi seorang
laki-laki ditandai dengan mimpi basah (noctural orgasm) yaitu
keluarnya cairan semen seorang laki-laki disaat tidur sebagai tanda bahwa ia
mulai masuk masa pubertas. Ini menandakan hasrat libido sudah mulai tumbuh
Sementara itu, pubertas bagi seorang wanita beberapa diantaranya ditandai
dengan tumbuhnya rambut pada area tertentu, perubahan bentuk tubuh dan juga
mulai muncul jerawat.
Laki-laki adalah gender manusia yang memiliki sifat
agresif dalam hal seks, sedangkan di sisi lain Islam melarang perbuatan zina.
Atas karakter tersebut, Rasululullah SAW menganjurkan anak muda untuk segera
menikah, karena pernikahan akan memelihara mata dan menjaga kemaluan dari
perbuatan zina. Rasul Saw, dalam sabdanya : Wahai pemuda, barangsiapa
yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena pernikahan itu dapat menutup mata
(dari godaan) dan menjaga kemaluan (dari zina). Bagi yang tidak mampu menikah,
maka hendaknya berpuasa karena itu adalah obat (penurun syahwat).
Melihat begitu urgennya sebuah pernikahan maka perlu
dibuat suatu aturan perundang-undangan sebagai bagian dari cita-cita penegakan
hukum yang mengandung maksud menciptakan kondisi kehidupan yang damai,
tenteram, dan berkeadilan. Keluhuran cita-cita hukum itu termanifestasi dalam
bentuk pemahaman yang menegaskan bahwa pernikahan adalah fitrah manusia yang
harus dilindungi. Maka lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974
adalah bentuk kepedulian pemerintah untuk melindungi pernikahan yang suci yang
tidak saja sah secara hukum agama, juga pernikahannya tercatat secara
administrasi negara.ini merupakan suatu upaya yang diatur melalui
perundang-undangan, yang bukan hanya untuk melindungi martabat dan kesucian (mitsaqan
ghalidza) pernikahan terlebih khusus lagi bagi kaum perempuan dalam
kehidupan rumah tanggnya, tetapi pencatatan penikahan juga bertujuan untuk
mewujudkan ketertiban perkawian dalam mayarakat.
B.
PEMBAHASAN
1.Tujuan Pernikahan
Tujuan pernikahan
tidak semata-semata untuk mengamalkan ajaran Rasulullah SAW, menjaga diri dari
perbuatan maksiat, pemenuhan hasrat biologis dan untuk memperoleh keturunan
saja, namun inti dari semua tujuan itu
adalah guna membina rumah tangga yang islami yakni rumah tangga yang Sakinah
Mawaddah Warahmah.
Sakinah mawaddah warahmah, dalam arti sederhana secara bahasa
masing-masing mempunyai arti damai tentram, harapan dan kasih sayang. Sakinah
berasal dari kata litaskunu, menurut Ibnu Katsir berarti
juga lita’tafu yang artinya saling mengikat hati (Q.S Al
Anfal 63), ikatan hati yang dimaksud disini adalah iman, bukan harta, kedudukan
apalagi wajah seseorang. Sakinah disebut juga Tadma’inubiha atau
merasa tenang dengannya, Ma waddah, Ibnu Katsir mengartikannya sama
dengan al mahabbah (rasa cinta), cinta menjadi hal yang penting dan harus ada
dalam pasangan suami istri. Hasan al Basri menyatakan bahwa ma waddah adalah
makna kinayah dari nikah yakni jima’ (hubungan) yang merupakan konsekuensi dari
sebuah pernikahan. Sebagai metamorfosa dari hubungan suami istri, jika rumah
tangga diibaratkan sebagai mesin maka ma waddah adalah penggeraknya. Diantara
wujud dari ma waddah adalah dengan saling memberi hadiah, saling mengingat
kebaikan, selalu berkomunikasi dan saling terbuka. Wa rahmah, kata
dasarnya adalah rohmah yang artinya kasih sayang. Implementasi dari kasih
sayang dalam sebuah rumah tangga adalah saling menjaga, melindungi dan saling
membantu memahami hak dan kewajiban masing-masing yang satu diantaranya bagi
laki-laki atau suami adalah mencari dan memberi nafkah.
Dari pengertian di
atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa yang dmaksud dengan keluarga yang sakinah
ma waddah wa rahmah adalah keluarga yang selalu diberikan kedamaian, ketentraman,
dengan penuh cinta dan kasih sayang. Makna ini terangkum dalam do’a untuk
pengantin yang sering kita baca disetiap kali hadir dalam pernikahan handai
taulan yakni “barakallahulaka wa baraka alaika wa jama’a bainakuma fi khair”
yang artinya semoga Allah memberi berkah kepadamu dan atasmu serta mengumpulkan
kamu berdua (pengantin laki-laki dan perempuan) dalam kebaikan.
2. Hal yang Perlu
dipersiapkan dalam Pernikahan
Dalam upaya mewujudkan tujuan pernikahan, tentu
memerlukan persiapan dan pemahaman bersama bagi calon suami dan istri dalam hal
“ilmu rumah tangga” karena seorang muslim selalu akan mendasari segala
aktivitasnya dengan ilmu sehingga ia akan paham pada aturan yang benar dan bisa
menempatkan diri pada sikap yang benar, terlebih dalam urusan rumah tangga,
urusan yang tidak sesaat melainkan sebuah ikatan suci atau perjanjian agung (mitsaqan
ghalidza) antara suami dan istri untuk hidup bersama.
Merujuk hal tersebut, Islam pada hakikatnya menganut dua
asas pernikahan yaitu monogami dan lestari. Monogami berarti seorang laki-laki
menikah hanya dengan seorang perempuan dan lestari diartikan bahwa setiap
pernikahan seorang muslim hendaknya sekali untuk selamanya, dengan kata lain,
berpoligami sah-sah saja dan memang diperbolehkan namun syarat dan ketentuan
harus betul-betul ditetapkan bagi siapa saja yang hendak berpoligami, pun
demikian dengan perceraian tidak dilarang oleh agama namun harus dipastikan
bahwa perceraian itu sebagai solusi terakhir penyelesaian problematika rumah
tangga.
Dewasa ini, fenomena keretakan rumah tangga atau gagalnya
pernikahan secara nyata telah mendistorsi pernikahan kedalam bentuk pengamalan
agama secara artifisial-duniawi pernikahan dimaknai sekedar sebagai “lembaga
penyalur” hasrat biologis semata. Banyak pernikahan atau kehidupan rumah tangga
di Indonesia berlangsung dibawah mentalitas yang salah (error of mentality),
ini disebabkan karena pernikahan tidak lagidibangun di atas sikap yang penuh
tanggung jawab.4) Sikap bertanggung jawab terkait erat dengan
taraf kedewasaan dalam perkembangan kehidupan manusia. Dalam perspektif ilmu
hukum, taraf kedewasaan itu dimaknai sebagai parameter yang dapat menyatakan
bahwa seseorang telah cakap hukum atau mampu melakukan perbuatan hukum.
3. Dispensasi Nikah dalam
Undang-undang Perkawinan
Undang-undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia
menunjukkan parameter kedewasaan adalah ketika seseorang telah dipandang mampu
untuk menikah dengan alasan bahwa pernikahan merupakan wadah bagi seseorang
yang memiliki kemampuan untuk memikul tanggungjawab.Kedewasaan sebagai
paramater cakap menikah tampaknya telah memicu lahirnya silang pendapat yang
mewujud pada persoalan perlu dan tidaknya usia perkawinan ditentukan. Secara
jelas, sebagian isi Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 yang mengatur ketentuan
usia perkawinan di Indonesia adalah sebagai berikut;
1. Izin orang tua bagi orang yang akan
melangsungkan perkawinan apabila belum mencapai umur 21 tahun (pasal 6 ayat 2).
2. Umur minimal untuk diizinkan melangsungkan
perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun (pasal 7 ayat 1).
3. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah kawin, berada di dalam kekuasaan orang tua (pasal 47ayat 1).
4. Anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau
belum pernah kawin, yang tidak berada dibawah kekuasaan orang tuanya, berada
dibawah kekuasaan wali (pasal 50 ayat 1).
Bagi kebanyakan orang beranggapan bahwa dewasa itu adalah
ketika seseorang menginjak pada usia tertentu dan usia 17 tahun seringkali
dikaitkan dengan usia dewasa, sehingga ketika sudah berusia 17 tahun diwajibkan
untuk memiliki kartu identitas penduduk. Pertanyaannya kemudian, jika usia 17
tahun sudah dianggap dewasa maka usia yang lebih dari itu tentu dianggap lebih
dewasa, tapi apakah benar kedewasaan itu identik dengan usia? Karena banyak
dilihat orang yang sudah berumur justru bertingkah kekanak-kanakan dan
sebaliknya seorang remaja yang masih belasan tahun justru bisa bersikap
layaknya orang tua. Sehingga kesimpulannya adalah dewasa bukan soal usia namun
tentang bagaimana cara berpikir dan bersikap.
Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terbaru
mengalami revisi pada tahun 2019, pada pasal 7 yang semula usia minimal untuk
diizinkan melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun
kini menjadi 19 tahun bagi kedua belah pihak. Menteri Permberdayaan Perempuan
dan Perlindungan Anak saat itu, Yohana Yambise mengatakan bahwa revisi
dilakukan untuk melindungi hak anak dan terciptanya perkawinan yang sehat dan
sejahtera.5)
Lebih
lanjut ahli kedokteran sekaligus Konsultan Keluarga Berencana dan Kesehatan
Reproduksi, Julianto Witjaksono
mengatakan bahwa kehamilan diusia dini rentan dengan penyakit dan kelainan
karena secara biologis perempuan dibawah usia 20 tahu belum siap sehingga
beresiko tinggi bagi ibu dan bayi.6) Sementara itu Saparinah,
Guru Besar Fakultas Psikologi UI mengemukakan bahwa laki-laki dan perempuan
yang menikah diusia yang terlalu muda belum memiliki kematangan emosional
sehingga percekcokan, perceraian, dan kekerasan dalam rumah tangga rawan
terjadi. Kekerasan dalam rumah tangga dapat menimbulkan trauma bahkan kematian
bagi korban.7) Sehingga atas dasar itulah kemudian pemerintah
berupaya untuk merevisi ketentuan usia dalam UU Perkawinan.
Revisi UU perkawinan utamanya pada ketentuan soal usia,
mulanya ditentang oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). MUI melalui Ketua Dewan
Pimpinan, Amidhan Shaberah meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk
mempertahankan batas usia nikah 16 tahun bagi perempuan, ia berpendapat bahwa
Pasal 7 ayat 1 UU Perkawinan telah mengandung nilai-nilai agama (Islam),
sehingga harus dinyatakan tetap konstitusional dan tidak bertentangan dengan
UUD 1945. Amidhan menambahkan, bahwa Islam tidak menetapkan batas usia
pernikahan. Islam hanya mengatur baligh (kedewasaan) dalam beberapa tanda yaitu
pertama anak perempuan telah berusia 9 tahu atau lebih dan telah haid
(mestruasi). Kedua, laki-laki atau perempuan telah berusia 9 tahun atau lebih
dan telah mimpi basah. Ketiga, laki-laki atau perempuan telah mencapai usia 15
tahun tanpa syarat haid dan mimpi basah. Jadi kedewasaan dalam Islam, adalah
rentang usia antara 9 sampai dengan 15 tahun sehingga penetapan batas minimal
usia menikah 16 tahun bagi perempuan sudah mencerminkan kebutuhan masyarakat
dan nilai-nilai Islam.
Melalui perdebatan dan dinamika politik yang ada, pada
akhirnya revisi UU Perkawinan disahkan dengan ditetapkannya Undang-undang Nomor
16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dengan kesepakatan bahwa usia miminum pernikahan bagi laki-laki dan
perempuan adalah 19 tahun. Dalam keterangannya, Wakil Ketua Badan Legislasi
DPR, Totok Daryanto mengemukakan bahwa revisi UU Perkawinan mewajibkan
pemerintah untuk melakukan sosialisasi dan pendidikan kepada masyarakat tentang
bahayanya perkawinan usia dini ditinjau dari berbagai aspek. Bagi laki-laki dan
perempuan yang hendak menikah tapi belum memenuhi syarat umur minimal harus
mendapatkan dispensasi dari pengadilan setempat dan pengajuannya harus disertai
alasan kuat dimana pengadilan harus menghadirkan calon laki-laki dan perempuan
yang akan melangsungkan perkawinan.
Undang-undang Perkawinan memuat
aturan dispensasi perkawinan yang berbeda dengan rumusan UU sebelumnya.
Dispensasi adalah pemberian hak kepada seseorang untuk menikah meski belum
mencapai batas minimum usia pernikahan. Artinya, seseorang boleh menikah diluar
ketentuan itu jika dan hanya jika keadaan “menghendaki” dan tidak ada pilhan
lain (ultimum remedium). Dalam UU Perkawinan terbaru “Penyimpangan”
dapat dilakukan melalui pengajuan permohonan dispensasi oleh orang tua salah
satu atau kedua belah pihak calon mempelai. Bagi pemeluk agama Islam menjadi
kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri bagi pemeluk agama lain. Keadaan
“menghendaki” yang dimaksud diatas adalah adanya alasan mendesak atau suatu
keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa untuk tetap dilangsungkannya
pernikahan tersebut. Alasan-alasan tersebut harus benar-benar dibuktikan dan
tidak sekedar klaim. Dalam UU Perkawinan yang baru, telah berusaha mengakomodir
dengan keharusan adanya bukti-bukti yang cukup, diantaranya surat keterangan
tentang usia kedua mempelai yang masih dibawah ketentuan UU dan surat
keterangan tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa
perkawinan tersebut mendesak untuk dilakukan. Disamping itu juga, perihal orang
tua mempelai jika sebelumnya yang dimintai keterangan oleh hakim hanya terbatas
pada pemohon (yang mengajukan dispensasi) pada UU Perkawinan yang baru ini
hakim wajib mendengar keterangan kedua mempelai yaitu pemohon dan juga
keterangan dari calon besan.8)
Pernikahan dibawah batas usia bukanlah persoalan
sederhana, disatu sisi ius constitum yang berlaku di
Indonesia tidak menghendaki adanya pernikahan dibawah usia disisi lain UU juga
membuka peluang adanya hal lain diluar itu. Demikian juga dengan Pengadilan
Agama, lembaga peradilan yang berwenang dalam perkara dispensais nikah (bagi
pemeluk agama Islam) dalam mengadili perkara dispensasi nikah dihadapkan pada
pertimbangan dua kemudharatan yang ada yakni mudharat akibat menikah diusia
dini dan mudharat jika dispensasinya ditolak.
Dari dua pertimbangan itu, hakim lebih sering mengabulkan
permohonan dispensasi nikah dengan menimbang bahwa kemudharatan yang timbul
akibat ditolaknya permohonan dispensasi lebih besar dibanding dengan
kemudharatan yang terjadi akibat dari pernikahan dibawah usia itu sendiri. Dari
permohonan yang ditolak, sangat memungkinkan bisa merusak keturunan (al
nasl) dan juga kehormatan (al irdl) kedua calon mempelai. Untuk
itu, dalam legal reasoning-nya hakim dapat memberikan penetapan
berdasarkan pada fakta hukum yang ada dengan merujuk keterangan dari orang tua
(pemohon dan calon besan), kedua calon mempelai dan saksi-saksi yang dihadirkan
dipersidangan. Lebih luas lagi, penetapan hakim juga harus mempertimbangkan
berbagai sudut pandang baik secara syar’i, yuridis, sosiologis dan juga
pertimbangan kesehatan.
Jika dikaitkan dengan maqashidu al syariah (tujuan
hukum Islam), hemat penulis sebagaimana dikemukan oleh A. Khisni bahwa paling
tidak ada tiga hal utama yang harus dipertimbangan dalam menjatuhkan penetapan
dispensasi nikah yakni harus mengacu pada :
1. Keselamatan jiwa anak yang berkaitan dengan
tujuan perlindungan terhadap jiwa (hifzhun al nafs).
2. Kelanjutan pendidikan anak yang berkaitan
dengan tujuan perlindungan terhadap akal (hifzhu al aql); dan
3. Keselamatan keturunan yang berkaitan dengan
tujuan perlindungan terhadap keturunan (hifzhu al nasl).9)
C.
PENUTUP
Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dengan seorang wanita dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah
tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam term
agma Islam, tujuan pernikahan adalah untuk mewujudkan keluarga yang sakinah
mawaddah wa rahmah. Dalam
upaya mewujudkan tujuan pernikahan, tentu memerlukan persiapan dan pemahaman
bersama bagi calon suami dan istri dalam hal “ilmu rumah tangga” karena seorang
muslim selalu akan mendasari segala aktivitasnya dengan ilmu sehingga ia akan
paham pada aturan yang benar dan bisa menempatkan diri pada sikap yang benar,
terlebih dalam urusan rumah tangga.
Undang-undang Perkawinan yang berlaku di
Indonesia menunjukkan parameter kedewasaan atau usia yang cukup adalah ketika
seseorang telah dipandang mampu untuk menikah dengan alasan bahwa pernikahan
merupakan wadah bagi seseorang yang memiliki kemampuan untuk memikul
tanggungjawab. Undang-undang perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terbaru mengalami
revisi pada tahun 2019, pada pasal 7 yang semula usia minimal untuk diizinkan
melangsungkan perkawinan, yaitu pria 19 tahun dan wanita 16 tahun kini menjadi
19 tahun bagi kedua belah pihak. Bagi laki-laki dan perempuan yang hendak
menikah tapi belum memenuhi syarat umur minimal harus mendapatkan dispensasi
dari pengadilan setempat dan pengajuannya harus disertai alasan kuat dimana
pengadilan harus menghadirkan calon laki-laki dan perempuan yang akan
melangsungkan perkawinan. Alasan-alasan
tersebut harus benar-benar dibuktikan dan tidak sekedar klaim. Dalam UU
Perkawinan yang baru, telah berusaha mengakomodir dengan keharusan adanya
bukti-bukti yang cukup, diantaranya surat keterangan tentang usia kedua
mempelai yang masih dibawah ketentuan UU dan surat keterangan tenaga kesehatan
yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut mendesak untuk
dilakukan.
Referensi :
ü Khisni, Essay-essay Aliran Pemikiran Hukum
Islam, (Semarang : Unissula Press, 2010)
ü Andi Sjamsu, Alam. Usia Ideal untuk Kawin,
sebuah Ikhtirar Mewujudkan Keluarga Sakinah, (Jakarta : Kencana, 2006)
ü Fadlyana, Eddy dan Shinta Larasaty.
"Pernikahan Usia Dini dan Permasalahannya". Sari Pediatri, 2009. Vol.
11, No. 2
ü https://quran.kemenag.go.id/sura/30
ü https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt542a69f1b601b/tiga-ahli-benarkan-resiko-nikah-dini/
ü https://www.liputan6.com/news/read/4064719/alasan-disahkannya-revisi-uu-perkawinan
ü Peraturan Mahkamah Agung Nomor 5 Tahun 2019
tentang Pedoman Mengadili Perkara Dispensasi Nikah